Minggu, 19 Oktober 2008

Kedudukan As-Sunnah dalam Syariat Islam

Oleh : ‘Izzah Mujahidah *

Sudah diketahui bahwa al-Qur’an tidak bisa dipisahkan dengan as-Sunnah atau hadits, keduanya ibarat kepingan mata uang.

Al-Qur’an dan as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa ta'ala yang harus diyakini oleh setiap orang yang beriman. Al-Qur’an merupakan wahyu yang langsung berasal dari Allah Subhanahu wa ta'ala dengan makna dan lafadznya sekaligus. Sedangkan as-Sunnah maknanya bersumber dari Allah Subhanahu wa ta'ala tapi ungkapannya berasal dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wasalam.

Kedudukan as-Sunnah sebagai sumber syariat Islam tidak diragukan lagi karena as-Sunnah (al-Hadits) mendapat legalitas dari Allah Subhanahu wa ta'ala yang tercantum dalam al-Qur’an. Karena itulah sunnah menjadi sumber utama bagi kaum Muslimin setelah al-Qur’an, sebagai juklak (baca: petunjuk pelaksanaan) hukum serta ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an.1

...وَمَااتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْ ا ج وَاتَّقُواْاللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُالْعِقَابِ

“…apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (QS.al-Hasyr: 7)

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman,

قُلْ لآ أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِى خَزَآ ءِنُ اللهِ وَلآَ أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلآ أَقُوْلُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ صلى إِنْ أَتَّبِعُ إلاَّ مَايُوحَى إِلَيَّ ج قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الْأَعْمَى وَالْبَصِيْرُ ج أَفَلاَ تَـتَفَكَّرُوْنَ

“ Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan (nya)?” (QS. Al-An’am: 50)

إِنْ يُوحَى إِلَيَّ إِلاَّ أَنَّمَآ أَنَا نَذِيْرٌ مُبِيْنٌ

“ Tidak diwahyukan kepadaku, melainkan bahwa sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata". (QS. Shad: 70)

قُلْ إِنَّمَا أُنْذِرُكُمْ بِالْوَحْيِ وَلاَ يَسْمَعُ الصُّمُّ الدُُّعَآءَ إِذَا مَا يُنْذِرُوْنَ

Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan" (QS. Al-Anbiya: 45)

Semua ayat-ayat itu menunjukkan bahwa ucapan, perbuatan, dan taqrir –atau Sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi wasalam– kedudukannya sama dengan al-Qur’an, karenanya semuanya adalah wahyu.2 Sebuah kebohongan besar jika ada yang berpendapat bahwa cukuplah al-Qur’an sebagai sumber rujukan bagi kaum Muslimin dan menihilkan peran as-Sunnah. Justru al-Qur’an sendiri yang memuat perintah-perintah agar taat kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wasalam yang terangkum dalam Sunnah.

Jelas sudah keabsahan Sunnah sebagai wahyu yang patut dijadikan rujukan dalam kehidupan kaum Mukminin.

Kehujjahan Sunnah

Telah disinggung pada pembahasan sebelumnya tentang penolakan Sunnah sebagai sumber dalam Islam. Memang benar gejala penolakan Sunnah –atau yang dikenal sebagai ingkar Sunnah– sudah ada sejak dulu. Namun, pembela Sunnah tidak tinggal diam berpangku tangan melihat fenomena itu. Mereka memberikan argumen-argumen yang tak dapat dibantah oleh kalangan ingkar Sunnah sendiri.

Di dalam surat an-Nahl dijelaskan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wasalam diberi otoritas oleh Allah Subhanahu wa ta'ala sebagai mubayyin ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an.3

... وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

…Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. an-Nahl: 44)

Begitupun dalam QS. an-Nahl: 64

Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Allah Subhanahu wa ta'ala dalam ayat lain berfirman agar kita taat kepada Rasulullah Shalallahu Alaihu wassalam

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلاَ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأنْتُمْ تَسْمَعُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya) (QS. Al-Anfal: 20)

Bahkan Allah Subhanahu wa ta'ala dalam QS. An-Nisa: 80 mengatakan bahwa ketaatan kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam secara otomatis taat kepada Allah Subhanahu wa ta'ala

مَنْ يُطْعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَآ أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا

Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.

Hal ini menunjukkan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam diutus tiada lain agar ditaati dan dipatuhi perintah-perintahnya dengan izin Allah Subhanahu wa ta'ala tentunya. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam pun menjadi model percontohan agar diteladani oleh umatnya, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا

”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab: 21)

Nabi Shalallahu ’Alaihi Wassalam bertugas memberikan suri teladan kepada umatnya, sementara umatnya wajib mencontoh dan meniru teladan-teladan itu. Seorang Muslim tidak mungkin memperileh ridha Allah tanpa mencontoh perilaku Nabi Shalallahu ’Alaihi Wassalam, atau dengan kata lain, karena perilaku yang dicontohkan Nabi Shalallahu ’Alaihi Wassalam itu adalah hadis, maka seorang muslim tidak akan dirihai Allah Subhanahu wa ta'ala apabila tidak mencontoh hadis dalam perilakunya.4

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam pun diberikan wewenang oleh Allah Subhanahu wa ta'ala untuk menetapkan hukum. QS. Al-A’raaf ayat 157 telah memberikan otoritas kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam dalam memutuskan suatu perkara.

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Karenanya menolak ketetapan Rasulullah Shalallahu ’Alaihi wassalam, sebenarnya penolakan terhadap al-Qur’an yang telah memberikan wewenang tersebut.

Manusia belum dapat dikatakan beriman apabila belum mau menerima sistem dan hukum Allah yang telah dicontohkan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam, sewaktu beliau masih hidup, dan sesudah beliau sudah wafat. Dikatakan menerima sistem dan hukum Allah itu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum dan sistem kehidupan.5

Kemudian, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam sendiri menyampaikan sendiri kehujjahan as-Sunnah, dalam sabdanya:

إني تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعد هما أبدا كتابالله و سنتي

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian dua perkara, dimana kalian tidak akan sesat selamanya jika tetap berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku” (HR. Al-Hakim dan Daruquthni)

Pada akhirnya, dalil-dalil di atas cukup memberikan gambaran kepada orang-orang yang beriman agar senatiasa berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah. Dalil-dalil yang telah dikemukakan pun memberikan legitimasi terhadap Sunnah yang mampu dijadikan hujjah maupun rujukan dalam kehidupan seorang yang mengaku beriman. Wallahu’alam bishshawwab

* Distributor buku-buku & VCD Jihad, Pustaka PejuangLumutan1924

1 Jurnal al-Insan, hal. 23

2 idem, hal. 57

3 idem, hal. 40

4 Ali Mustafa Yaqub, hal. 35

5 Prof. Dr. M.M. Azami, hal. 29

Maraji’

- Al-Qur’an

- As-Shalih, Dr. Shubhi. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Pustaka Firdaus. Jakarta. 2007.

- Azami, Prof. Dr. M.M. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Pustaka Firdaus. Jakarta. 1994.

- Darmalaksana, Wahyudin. Hadis Di Mata Orientalis. Benang Merah Press. Bandung. 2004

- Jurnal al-Insan. Hadits Nabi Otentitas dan Upaya Destruksinya. No.2, Vol I. 2005.

- Mustafa Yaqub, Ali. Kritik Hadis. Pustaka Firdaus. Jakarta. 2004

- Mutawali Hamadah, Dr. Abbas. Sunnah Nabi Kedudukannya Menurut Al-Qur’an. Gema Risalah Press. Bandung. 1997

Kritik dan saran dapat disampaikan melalui email pejuang_lumutan1924@yahoo.co.id atau via HP 0856 224 1924

Senin, 21 April 2008

iklan



telah hadir pustaka pejuangloemoetan1924
menyediakan
buku2 tauhid & jihad (dari berbagai penerbit),
majalah al muhajirun, openmindmagz,
vcd2 jihad.
diskon 10%-15%

menerima pemesanan/ berlangganan

hubungi
0856 224 1924
-untuk daerah UPI bandung & sekitarnya-


pustaka pejuanglumutan1924 cabang dari
komunitas distro RUMAH HAROKAH
bogor

Rabu, 06 Februari 2008

Ciri-ciri Mukmin Sejati

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (QS al-Hujurat: 15)


Tiada suatu pun dalam kehidupan ini yang lebih berharga bagi manusia daripada iman. Dengan bekal iman yang benar, seseorang akan bisa merasakan indahnya kehidupan dunia dan nikmatnya kehidupan akhirat. Sebab dalam hidup ini berlaku dua rumus paten, orang yang mati tetap memegangi imannya ia akan masuk sorga dengan segala keindahannya, dan orang yang mati tidak memiliki iman ia akan masuk neraka dengan segala kepedihannya.
Meskipun kaidah ini sudah difahami oleh kebanyakan orang, tetapi dalam realitasnya banyak yang kurang bisa menerapkan teori ini dengan benar. Mereka itu mengaku beriman baru sebatas pengakuan lisan, tetapi hati dan amalnya kurang siap menerima iman yang sudah diikrarkan secara lisan tersebut. Golongan seperti itu dalam Islam disebut dengan golongan munafik. Dan adanya golongan ini disebutkan di dalam firman Allah,

"Dan di antara manusia ada orang yang mengatakan ‘Kami telah beriman kepada Allah’ tetapi sebenarnya mereka itu tidak beriman.” (QS al-Baqarah: 8).


Di sini kita melihat bahwa persoalan iman adalah soal yang pelik. Padahal ia menjadi tolok ukur keselamatan manusia di akhirat nanti. Melihat pentingnya persoalan ini maka wajar jika Allah menjelaskan tentang hakekat keberimanan seseorang di dalam al-Qur’an. Tentu tujuanya adalah supaya manusia tidak kesulitan mencari penduan hidup baginya.
Banyak ayat di dalam al-Qur’an telah menyebutkan ciri-ciri orang yang beriman. Di antara ayat yang menyebutkan ciri-ciri mereka terdapat di dalam surat al-Hujurat ayat 15.


“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (QS al-Hujurat: 15)


Ayat di atas diawali dengan kata innama. Kata innama berfungsi untuk membatasi kata yang terletak sesudahnya. Dalam ayat ini yang dibatasi adalah istilah al-mu’minun (orang-orang yang beriman). Maksudnya, orang-orang mukmin itu hanyalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat sebagaimana yang disebutkan di dalam lanjutan ayat tersebut.
Kemudian di akhir ayat tersebut Allah menegaskan sekali lagi, bahwa orang beriman yang memiliki sifat tersebut adalah mereka yang benar-benar beriman. Sifat-sifat itu adalah;

1. Beriman kepada Allah dan RasulNya
Istilah beriman bukan sekedar percaya. Jika maksud beriman sekedar percaya, maka iblis pun termasuk orang yang beriman kepada Allah. Sebab Iblis sangat percaya adanya Allah dengan segala sifatNya. Beriman maksudnya adalah percaya di dalam hatinya, lisannya mengucapkan kepercayaannya, dan anggota tubuh yang lain mengamalkan konsekuensi dari keimanannya.
Dari batasan ini, beriman kepada Allah dan RasulNya, adalah meyakini di dalam hati, lisannya mengucapkan dua kalimah syahadat, dan seluruh gerak hidupnya merupakan perwujudan dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya.

2. Tidak ragu-ragu
Keraguan terhadap ajaran yang dibawa oleh Rasulullah sebagai ajaran dari Allah menyebabkan batalnya keimanan seseorang. Demikian juga, keraguan terhadap benarnya ajaran itu juga membatalkan keimanannya. Maka orang yang beriman meyakini dengan sepenuh hati kebenaran ajaran Allah dan RasulNya. Ajaran itulah ajaran yang benar. Tidak ada kebenaran hakiki di luar ajaran yang diajarkan oleh Allah dan RasulNya.

3. Berjihad dengan harta dan jiwa
Jihad artinya adalah bersungguh-sungguh. Kesungguhan merupakan buah dari kemantapan hati terhadap sesuatu yang diyakininya. Orang yang tak yakin tak akan sanggup melakukan sesuatu dengan segala kesungguhan hati. Kalaupun ia mengamalkannya maka ia akan mengamalkan dengan setengah hati. Tetapi jika ia meyakini dengan keyakinan yang penuh, ia akan bisa mengamalkan dengan sepenuh hati, dan dengan segala kecintaannya. Demikianlah, buah dari mantapnya keyakinan, dan tidak adanya keraguan sedikitpun, ia mantap dalam mentaati perintah Allah dan RasulNya, serta menjauhi larangan Allah dan RasulNya. Meski apapun yang akan menimpanya, kemantapannya tidak akan menyurutkannya dari mentaati Allah dan RasulNya.
Manusia memiliki kecenderungan menyukai sesuatu yang identik dengan dirinya. Ia akan menyukai orang lain yang memiliki banyak persamaannya dengan dirinya. Demikian juga dalam masalah keimanan ini. Ia akan merasa senang jika orang lain memiliki keimanan seperti dirinya. Terlebih lagi bahwa keimanan ini akan menyelamatkan, maka ia akan berusaha supaya orang lain pun selamat, karena memiliki keimanan itu. Aktifitas membawa orang lain untuk mengikuti apa yang diyakininya merupakan langkah selanjutnya dari jihadnya. Seorang mukmin harus melakukan tugas ini.
Jika orang lain menentang ajakannya, bahkan berusaha menghalangi usahanya untuk menebar rahmat, ia tidak boleh diam. Dengan segala daya upaya ia harus lakukan untuk mengamankan misi penting itu. Bahkan jika perlu mengangkat senjata untuk membela agamanya, maka itu akan dilakukannya juga. Inilah puncak dari jihad fi sabilillah, sebagaimana sabda Rasulullah saw

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

Pokok persoalannya adalah Islam, pilar penyangganya adalah shalat, dan puncak tertingginya adalah jihad (HR at-Tirmidzi)
Wallahu a’lam…

Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah...


Dibawah ini adalah ringkasan pendek tentang elemen yang sangat penting dari aqidah golongan yang selamat, yaitu Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau:

1. Qur’an dan Sunnah
Kita telah diperintahkan untuk mengikuti wahyu Allah secara tepat dan khusus. Allah Swt. berfirman,

“dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Ahzab, 33: 2).

Selanjutnya dimana saja kita berselisih harus merujuk kembali hanya kepada Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikan semua perselisihan sebagaimana Allah Swt. berfirman,

“jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).” (QS An Nisaa’, 4: 59)

2. Standart Islam
Selanjutnya Qur’an dan Sunnah mungkin masih menjadi perdebatan juga banyak orang yang menginterpretasikannya secara berbeda yang selanjutnya membimbing pada kebingungan dan perpecahan, itulah mengapa kita tidak boleh melakukan interpretasi terhadap Qur’an, tetapi kita sebaiknya memahami Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Rasulullah Saw. dan para Shahabatnya di masa mereka dan kita akan berdiri untuk mempertahankannya sebagaimana mereka adalah sebaik-baik yang memahami Qur’an dan Sunnah serta mereka adalah calon penghuni surga. Rasulullah Saw. bersabda, “Ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semua akan masuk neraka dan hanya satu yang selamat” ketika Rasulullah ditanya siapakah golongan yang selamat itu, beliau Saw. menjawab, “mereka adalah aku dan para Shahabat-shahabatku.

” Dan Allah Swt. berfirman, "Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah, 2: 137).
Selanjutnya jalan yang harus kita ikuti dan menjadikannya standar serta kriteria yang harus menjadi ukuran bagi diri kita dengan tujuan menjadikan petujuk untuk aqidah dan pemahaman dari wahyu adalah jalan dan pemahaman Shahabat Rasulullah Saw., siapa saja yang meninggalkannya dan menyimpang dari jalan mereka akan tersesat.

3. AT Tauhid
Dari Shahabat kita mempelajari kewajiban yang sangat penting, paling utama, pelajaran yang terpenting bagi semua Muslim adalah harus mempelejari At Tauhid, Allah Swt. berfirman,

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah…” (QS Muhammad, 47: 19)

At Tauhid adalah hanya secara khusus tertuju pada Allah Swt. dalam semua bentuk ibadah, At Tauhid juga membutuhkan untuk menolak segala jenis Thaghut (segala sesuatau yang disembah, diikuti atau ditaati selain daripada Allah), beriman bahwa thaghut adalah batil, menjaga jarak dari mereka, mendeklarasikan kebencian kepada mereka serta mendeklarasikan bahwa mereka kafir (Takfir). At Tauhid kemudian membutuhkan kita untuk membenarkan beriman kepada Allah Swt. secara khusus tanpa memberikanNya sekutu. Allah Swt. berfirman, “…barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus…” (QS Al Baqarah, 2: 256)

4. Al Iman
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah beriman pada Allah secara khusus, dan mengatributkan nama-nama, sifat dan perbuatan kepada Allah semata tanpa menyekutukan kepada yang lain.
Allah mempunyai dua tangan kanan, jari, wajah, kaki sebagaimana yang telah dijelaskan dan itu semua sesuai dengan keagunganNya serta status kekuasaanNya dan tidak seperti makhluk ciptaannya. Allah berada diatas singgasanaNya diatas langit ketujuh dan tidak ada yang bersamaNya. Kita beriman pada Allah sebagaimana Dia menjelaskan diriNya kepada kita tanpa menyangkal semua sifat-sifatNya, tidak juga menginterpretasikannya, dan tidak ada yang kesamaan antara Dia dan ciptaanNya, Allah Swt.berfirman:

“…ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…” (QS Asy Syura, 42: 11)

5. Talazum
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah beriman pada Allah dengan pasti kemudian menyakiniNya dalam hati, mengucapkannya dengan lidah dan melakukannya dengan anggota tubuh. Kemudian Imaan adalah (a) perkataan, (b) perbuatan dan (c) keyakinan. Kita harus mempunyai Talazum (penyatuan) diantara ketiga halini; tidak ada yang bisa memisahkannya satu sama lain, jika satu hilang atau terabaikan, maka semua akan terabaikan. Rasulullah Saw. bersabda, “Imaan adalah apa yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lidah dan dilakukan dengan rukun-rukunnya.”

6. Menilai pada yang tampak
Meskipun Iman dalam hati, tidak seorangpun bisa membuka dada tidak juga dapat menilai hati kecuali Allah; maka kita diperintahkan untuk menilai imaan hanya dengan apa yang tampak (yaitu ucapan dan perbuatan). Maka siapa saja yang berlaku dan mengucapkan ke-Islam-an (seperti mengucapakan syahadat atau melaksanakan Shalat), kita akan menilai mereka sebagai Muslim dan siapa saja yang berlaku dan mengucakan kekufuran (seperti menyembah berhala, berhukum dengan hukum kufur, bersekutu dengan kuffar melawan Muslim atau memutuskan perkara dengan hukum buatan manusia), kita akan menilai mereka sebagai seorang Kafir. Umar Ibnu Khattab berkata, “Ada orang yang diringankan (dari kufur) oleh wahyu tetapi kemudian tidak lagi wahyu setelah Nabi Muhammad Saw. (tiada), maka kita akan menilai dengan apa yang tampak. Siapa saja yang menunjukan kepada kita kejahatan kami tidak akan menerima itu dari mereka.”

7. Al walaa’ wal baraa’
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah percaya bahwa mencintai dan membenci semua harus semata-mata karena Allah Swt. semata seperti bahwa seharusnya hanya mencintai Allah atau untuk Allah Semata, dan seharusnya tidak seorangpun yang membenci seseorang kecuali untuk Allah. Kita mencintai Allah Swt. secara khusus dan kita tidak mencintai malaikat, para Nabi, Rasul, orang-orang beriman dan Muslim kecuali semua itu adalah wujud dari mencintai Allah dan karena Dia memerintahkan kita untuk mencitai mereka. Sebagai tambahan kita tidak bisa mencintai Syaitan tidak juga orang-orang yang bersamanya yang tidak beriman pada Allah atau membenciNya atau melancarkan perlawanan kepadaNya atau bersatu dengan orang-orang yang menjadi sekutu Allah, sebaliknya kita harus membenci mereka semua hanya semata karena Allah. Rasulullah Saw. bersabda, “Sekuat-kuat ikatan imaan adakah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah Swt.”

8. Izhaar ul dien
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sepakat bahwa dien Allah harus mendominasi di timur dan di barat diatas semua agama, jalan hidup dan system-sistem kehidupan yang lain. Untuk itu alasan kita tidak pernah bisa menemukan orang-orang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah kecuali bahwa mereka terlibatr dalam salah satu dari dua kewajiban utama untuk menyebarkan Dien Allah di seluruh dunia; itu adalah dakwah dan jihad, tidak ada seorangpun yang akan menyangkal dua kewajiban ini keculai bahwa mereka adalah kafir dan tidak seorangpuj yang meningglakan kewajiban ini kecuali bahwa mereka adalah orang-orang yang gagal, Allah Swt. berfirman:

“Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (QS At Taubah, 9: 33)

Risalah Fie Makna Thaghut...

syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah

Ketahuilah semoga Allah ‘Azza wa Jalla merahmatimu: Sesungguhnya hal paling pertama yang Allah fardlukan atas anak Adam adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah, dalilnya adalah firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu,’” (TQS: An Nahl: 36)

Dan ada pun tata cara kufur terhadap thaghut itu adalah engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah, engkau meninggalkannya, membencinya, mengkafirkan pelakunya dan memusuhi mereka.

Ada pun makna iman kepada Allah adalah bahwa engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak untuk diibadahi, tidak yang lainNya, engkau memurnikan semua macam ibadah hanya kepadaNya, dan engkau menafikkan dari segala yang engkau sembah selainNya,, engkau mencintai ahli tauhid (ikhlash) dan loyal kepadanya, serta engkau membenci pelaku-pelaku syirik dan memusuhinya.

Inilah agama Ibrahim yang di mana orang yang benci akannya adalah orang yang telah memperbodohi dirinya sendiri, dan inilah suri tauladan yang telah Allah kabarkan di dalam firmanNya:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dia, ketika mereka berkata pada kaum mereka, ‘sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mud an telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman pada Allah saja,’” (TQS: Al Mumtahanah: 4)

Thaghut adalah umum mencakup segala sesuatu yang disembah selain Allah, sedang dia itu rela dengan peribadatan tersebut, baik yang disembah, atau yang diikuti, atau yang ditaati daalm bukan ketaatan kepada Allah dan RasulNya, ini adalah thaghut.


Thaghut-thaghut itu banyak sekali, sedangkantokoh-tokohnya ada lima:

Pertama:
Syaitan yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah, ada pun dalilnya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla:

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu” (TQS: Yaasiin: 60)

Kedua:
Pemerintah yang zhalim yang mengubah hukum-hukum Allah, dan dalilnya adalah firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (TQS: An Nisaa’: 60)


Tambahan:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

“Orang dikala menghalalkan sesuatu yang disepakati keharamannya atau mengharamkan sesuatu yang disepakati kehalalannya atau mengubah syari’at yang telah disepakati, maka dia itu kafir murtad dengan kesepakatan para fuqaha” (Al Majmu’ 3/267)

Coba perhatikan: Sekarang perjudian dibolehkan di tempat-tempat tertentu yang sudah dilokasikan, pelacuran dibolehkan di tempat-tempat khusus bahkan ada pajak atas kedua hal itu, praktek riba diberikan perlindungan hokum. Bukankah ini di antara bentuk penghalalan?
Bahkan bukankah Allah menetapkan bahwa tidak ada pilihan dalam menerima ajaranNya itu? Tapi sekarang mereka menetapkan bahwa tidak pilihan hak bebas bagi rakyat untuk memilih apa yang mereka sukai tergantung suara mayoritas? Bukankah ini bentuk perubahan akan syari’at?


Ketiga:
Orang yang memutuskan hukum dengan sesuatu yang bukan diturunkan Allah, dan dalilnya adalah firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (TQS: Al Maaidah: 44)


Tambahan:

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

“Siapa yang meninggalkan syari’at yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para Nabi dan dia malah berhukum kepada syari’at-syari’at lain yang sudah dihapus, maka dia itu kafir, maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Yasiq (hokum buatan) dan mendahulukannya atas hokum syar’at itu, maka siapa yang melakukannya maka dia itu kafir dengan ijma’ kaum muslimin.” (Al Bidayah Wa Nihayah 13/119)

Bila ini status orang yang berhukum kepada undang-undang buatan, maka apa gerangan dengan orang yang menghukumi dengan undang-undang buatan itu, ini namanya thaghut. Mereka mendirikan lembaga untuk penggodokan hokum dan perundang-undangan, mengubah, menambah, mengganti dan seterusnya


Keempat:
Orang yang mengklaim mengetahui hal yang ghaib, padahal itu hak khusus Allah, dan dalilnya firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridlaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (Malaikat) di muka dan di belakanganya.” (TQS: Al Jinn: 26-27)

Dan firmanNya ‘Azza wa Jalla:

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan apa yang ada di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (TQS: Al An’am: 59)

Kelima:
Segala sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia rela dengan penyembahan tersebut, dan ada pun dalilnya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla:

“Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya aku adalah tuhan selain daripada Allah’, maka orang itu Kami beri balasan dengan jahannam, demikian Kami memberikan balasan orang-orang dzalim.” (TQS: Al Anbiyaa: 29)

Ketahuilah bahwa orang itu tidak bisa dikatakan sebagai orang yang beriman kepada Allah kecuali dengan kufur terhadap thaghut, dan ada pun dalilnya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla:

“Karena itu barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (TQS: Al Baqarah: 256)

Ar Rusydu adalah agama Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan Al Ghayy adalah agama Abu jahal, sedangkan Al ‘Urwah Al Wutsqaa adalah kesaksian Laa Ilaaha illallaah, di mana hal ini mengandung penafian dan penetapan. Menafikan semua macam ibadah dari selain Allah, dan menetapkan seluruh ibadah hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu bagiNya.