Minggu, 19 Oktober 2008

Kedudukan As-Sunnah dalam Syariat Islam

Oleh : ‘Izzah Mujahidah *

Sudah diketahui bahwa al-Qur’an tidak bisa dipisahkan dengan as-Sunnah atau hadits, keduanya ibarat kepingan mata uang.

Al-Qur’an dan as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa ta'ala yang harus diyakini oleh setiap orang yang beriman. Al-Qur’an merupakan wahyu yang langsung berasal dari Allah Subhanahu wa ta'ala dengan makna dan lafadznya sekaligus. Sedangkan as-Sunnah maknanya bersumber dari Allah Subhanahu wa ta'ala tapi ungkapannya berasal dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wasalam.

Kedudukan as-Sunnah sebagai sumber syariat Islam tidak diragukan lagi karena as-Sunnah (al-Hadits) mendapat legalitas dari Allah Subhanahu wa ta'ala yang tercantum dalam al-Qur’an. Karena itulah sunnah menjadi sumber utama bagi kaum Muslimin setelah al-Qur’an, sebagai juklak (baca: petunjuk pelaksanaan) hukum serta ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an.1

...وَمَااتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْ ا ج وَاتَّقُواْاللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُالْعِقَابِ

“…apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (QS.al-Hasyr: 7)

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman,

قُلْ لآ أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِى خَزَآ ءِنُ اللهِ وَلآَ أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلآ أَقُوْلُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ صلى إِنْ أَتَّبِعُ إلاَّ مَايُوحَى إِلَيَّ ج قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الْأَعْمَى وَالْبَصِيْرُ ج أَفَلاَ تَـتَفَكَّرُوْنَ

“ Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan (nya)?” (QS. Al-An’am: 50)

إِنْ يُوحَى إِلَيَّ إِلاَّ أَنَّمَآ أَنَا نَذِيْرٌ مُبِيْنٌ

“ Tidak diwahyukan kepadaku, melainkan bahwa sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata". (QS. Shad: 70)

قُلْ إِنَّمَا أُنْذِرُكُمْ بِالْوَحْيِ وَلاَ يَسْمَعُ الصُّمُّ الدُُّعَآءَ إِذَا مَا يُنْذِرُوْنَ

Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan" (QS. Al-Anbiya: 45)

Semua ayat-ayat itu menunjukkan bahwa ucapan, perbuatan, dan taqrir –atau Sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi wasalam– kedudukannya sama dengan al-Qur’an, karenanya semuanya adalah wahyu.2 Sebuah kebohongan besar jika ada yang berpendapat bahwa cukuplah al-Qur’an sebagai sumber rujukan bagi kaum Muslimin dan menihilkan peran as-Sunnah. Justru al-Qur’an sendiri yang memuat perintah-perintah agar taat kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wasalam yang terangkum dalam Sunnah.

Jelas sudah keabsahan Sunnah sebagai wahyu yang patut dijadikan rujukan dalam kehidupan kaum Mukminin.

Kehujjahan Sunnah

Telah disinggung pada pembahasan sebelumnya tentang penolakan Sunnah sebagai sumber dalam Islam. Memang benar gejala penolakan Sunnah –atau yang dikenal sebagai ingkar Sunnah– sudah ada sejak dulu. Namun, pembela Sunnah tidak tinggal diam berpangku tangan melihat fenomena itu. Mereka memberikan argumen-argumen yang tak dapat dibantah oleh kalangan ingkar Sunnah sendiri.

Di dalam surat an-Nahl dijelaskan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wasalam diberi otoritas oleh Allah Subhanahu wa ta'ala sebagai mubayyin ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an.3

... وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

…Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. an-Nahl: 44)

Begitupun dalam QS. an-Nahl: 64

Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Allah Subhanahu wa ta'ala dalam ayat lain berfirman agar kita taat kepada Rasulullah Shalallahu Alaihu wassalam

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلاَ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأنْتُمْ تَسْمَعُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya) (QS. Al-Anfal: 20)

Bahkan Allah Subhanahu wa ta'ala dalam QS. An-Nisa: 80 mengatakan bahwa ketaatan kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam secara otomatis taat kepada Allah Subhanahu wa ta'ala

مَنْ يُطْعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَآ أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا

Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.

Hal ini menunjukkan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam diutus tiada lain agar ditaati dan dipatuhi perintah-perintahnya dengan izin Allah Subhanahu wa ta'ala tentunya. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam pun menjadi model percontohan agar diteladani oleh umatnya, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا

”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab: 21)

Nabi Shalallahu ’Alaihi Wassalam bertugas memberikan suri teladan kepada umatnya, sementara umatnya wajib mencontoh dan meniru teladan-teladan itu. Seorang Muslim tidak mungkin memperileh ridha Allah tanpa mencontoh perilaku Nabi Shalallahu ’Alaihi Wassalam, atau dengan kata lain, karena perilaku yang dicontohkan Nabi Shalallahu ’Alaihi Wassalam itu adalah hadis, maka seorang muslim tidak akan dirihai Allah Subhanahu wa ta'ala apabila tidak mencontoh hadis dalam perilakunya.4

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam pun diberikan wewenang oleh Allah Subhanahu wa ta'ala untuk menetapkan hukum. QS. Al-A’raaf ayat 157 telah memberikan otoritas kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam dalam memutuskan suatu perkara.

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Karenanya menolak ketetapan Rasulullah Shalallahu ’Alaihi wassalam, sebenarnya penolakan terhadap al-Qur’an yang telah memberikan wewenang tersebut.

Manusia belum dapat dikatakan beriman apabila belum mau menerima sistem dan hukum Allah yang telah dicontohkan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam, sewaktu beliau masih hidup, dan sesudah beliau sudah wafat. Dikatakan menerima sistem dan hukum Allah itu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum dan sistem kehidupan.5

Kemudian, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam sendiri menyampaikan sendiri kehujjahan as-Sunnah, dalam sabdanya:

إني تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعد هما أبدا كتابالله و سنتي

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian dua perkara, dimana kalian tidak akan sesat selamanya jika tetap berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku” (HR. Al-Hakim dan Daruquthni)

Pada akhirnya, dalil-dalil di atas cukup memberikan gambaran kepada orang-orang yang beriman agar senatiasa berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah. Dalil-dalil yang telah dikemukakan pun memberikan legitimasi terhadap Sunnah yang mampu dijadikan hujjah maupun rujukan dalam kehidupan seorang yang mengaku beriman. Wallahu’alam bishshawwab

* Distributor buku-buku & VCD Jihad, Pustaka PejuangLumutan1924

1 Jurnal al-Insan, hal. 23

2 idem, hal. 57

3 idem, hal. 40

4 Ali Mustafa Yaqub, hal. 35

5 Prof. Dr. M.M. Azami, hal. 29

Maraji’

- Al-Qur’an

- As-Shalih, Dr. Shubhi. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Pustaka Firdaus. Jakarta. 2007.

- Azami, Prof. Dr. M.M. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Pustaka Firdaus. Jakarta. 1994.

- Darmalaksana, Wahyudin. Hadis Di Mata Orientalis. Benang Merah Press. Bandung. 2004

- Jurnal al-Insan. Hadits Nabi Otentitas dan Upaya Destruksinya. No.2, Vol I. 2005.

- Mustafa Yaqub, Ali. Kritik Hadis. Pustaka Firdaus. Jakarta. 2004

- Mutawali Hamadah, Dr. Abbas. Sunnah Nabi Kedudukannya Menurut Al-Qur’an. Gema Risalah Press. Bandung. 1997

Kritik dan saran dapat disampaikan melalui email pejuang_lumutan1924@yahoo.co.id atau via HP 0856 224 1924

Tidak ada komentar: