Kamis, 15 November 2007

KAJIAN AYAT:

al-Quran Surat ar-Rum Ayat 30

  1. TAFSIR AYAT

بسم الله الرحمن الر حيم

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفاً فَطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَالاَتَبْدِ يْلُ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقِيَمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُوْنَ

Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada (agama) Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

(QS. Ar-Rum [30]: 30)

Allah Swt berfirmsn Fa Aqim wajhaka li ad-din hanifa (hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama Allah). Menurut Mujahid, Ikrimah1, al-Jazairi, Ibnu al-Athiyah, Abu al-Qasim al-Kalbi, dan al-Zuhayli2, kata ad-din bermakna din al-Islam. Sedangkan menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, kata ad-din bermakna agama Ibrahim yang hanif.

Adapun kata hanif artinya cenderung pada jalan luurs dan meninggalkan kesesatan.3 hadapkanlah wajahmu dengan lurus adalah perintah yang mengharuskan manusia menghadapkan wajah pada din al-Islam dengan pandangan lurus, tidak memalingkan wajah terhadap agama-agama selain Islam. Ayat ini mengandung perintah agar manusia menerima Islam dengan totalitas, berjalan di muka bumi ini hanya dengan Islam bukan dengan lain, sebagaimana dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 208.

Selanjutnya fithrah Allah al-lati fathara an-nas alayha (tetaplah atas fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu). Secara bahasa, fithrah berasal dari kata fathara – yafthuru – fathr[an] wa futhr[an] wa fithrat[an] yang berarti pecah, belah, berbuka, mencipta. Jika dikatakan, Fathar Allah, artinya Allah menciptakan. Menurut sebagian mufasir, kata fithrah Allah berarti kecenderungan dan kesediaan manusia terhadap agama yang haq.4 Sebab fithrah diciptakan Allah swt. untuk cenderung pada tauhid dan din al-Islam sehingga manusia tidak bisa menolak dan mengingkarinya.5

Menurut mufasir seperti Mujahid, Qatadah,6 Ibnu Abbas,7 Abu Hurairah dan Ibnu Syihab 8 memaknai fithrah dengan Islam dan Tauhid. 9 Para Mufasir di atas menafsirkan fithrah dengan Islam karena manusia diciptakan untuk memenuhi fithrahnya. Telah ditegaskan bahwa jin dan manusia diciptakan Allah swt untuk beribadah kepada-Nya (terdapat dalam QS. Adz-Dzariyat [51]: 56).

Allah Swt berfirman lantabdila li khalqilah (tidak ada perubahan atas fithrah Allah). Menurut Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha’i, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, li khalqilah maksudnya li dinillah.10

Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya Dzalika ad-din al-qayyim walakinna aktsara an-nas la ya’lamun (itulah agama yang lurus, tetapip kebanyakan manusia tidak mengetahui). Allah Swt. menegaskan, perintah untuk mengikuti agama tauhid dan berpegang teguh pada syariah dan fithrah yang sehat itu adalah agama yang lurus. 11

  1. PENJELASAN

v Kembali ke Fithrah

Dari tafsir al-Qur’an surat ar-Rum ayat 30 di atas sudah dijelaskan bahwa fithrahnya manusia adalah kembali pada agama tauhid yakni Islam. Fithrahnya manusia adalah mengakui eksistensi Allah Swt. sebagai Tuhannya.

وإذأخذربك من بني أ دم من ظهور هم ذريتهم وأشهدهم على أنفشهم الست بربكم قالوابلى شهدنا أن تقولويوم القيمة إناكناعن هذاغفلين ( الأعراف : 172 )

“ Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini”

Tidak sesuai dengan fithrah jika manusia mengambil agama selain Islam. Begitupun manusia yang tidak menggunakan akalnya untuk tidak beragama atau ateis. Dia mengingkari fithrahnya.

Allah Swt menciptakan manusia berikut dengan potensi-potensinya. Salah satu potensinya adalah Gharizah Tadayyun, naluri mentaqdiskan sesuatu. Naluri ini muncul karena manusia merasa lemah dan terbatas sehingga membutuhkan sesuatu yang dianggap “ lebih.” Sebenarnya manusia akan selalu butuh “ Tuhan ” dalam hidupnya. Bagaimana tidak, manusia tidak selamanya kuat pasti adakalnya lemah, suatu saat manusia itu lahir tapi manusia pun akan mengakhiri masa hidupnya, manusia merasa lapar, haus, lelah, ngantuk, dan lain-lain. Itulah bukti bahwa manusia ini terbatas. Gharizah Tadayyun ini tidak bisa dihilangkan, akan selalu melekat dalam diri, meski manusia tersebut mengingkarinya. Gharizah Tadayyun dituntun dengan potensi akal untuk mencari Tuhan. Jika pencarian itu benar, dia hanya akan menuhankan Allah Swt. saja. Maka Gharizah Tadayyun selaras dengan fithrah. Tapi jika manusia itu mencari Tuhan selain Allah Swt, maka dia telah menyalahi fithrahnya.

Manusia akan sesuai fithrahnya jika menerima Islam apa adanya, mengembannya dengan totalitas. Sesungguhnya tidak dikatakan fithrah ketika manusia memalingkan diri dari agama yang lurus ini, tidak menjadikan Islam sebagai tuntunan hidup dalam seluruh aspek kehidupan.

يأيهاالذين امنواادخلوافى السلم كا فة ولاتتبعواخطوتالشيطن إنه لكم عدومبين( البقرة : 208 (

Wahai orang-orang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.

Menjalankan ibadah yang diperintahkan Allah Swt. juga berarti memenuhi fithrahnya, seperti dalam al-Quran surat adz-Dzariyat ayat 56

وما خلقت الجن والإنس الّا ليعبدون

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah padaku”

v Penyimpangan Terhadap Fithrah

Fithrah merupakan ciri kemanusiaan manusia. Fithrah berfungsi memanusiakan manusia. Apabila manusia meninggalkan fithrahnya maka dia meninggalkan ciri kemanusiaan sebagai manusia. Apa jadinya jika manusia meninggalkan sisi kemanusiaannya. Masihkah pantas manusia tersebut disebut manusia? Manusia yang meninggalkan fithrahnya (baca Islam) hanya untuk memenitngkan hawa nafsunya, maka manusia tersebut tidak lebih dari binatang ternak, bahkan lebih rendah dari itu.

أرأيت من اتخذإلهه هواه أفأنت تكون عليه وكيلا (43) أم تحشب أن أكثرهم يشمعون أويعقلون إن هم ألا كا لأ نعام بل هم أضل سبيلا (44)

“ Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pelindung atasnya? Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar tau memahami?mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.” (QS. Al-Furqan [25]: 43-44)

Begitupun fithrah tidak menghendaki manusia untuk berdaulat, yakni berwenang membuat aturan baru untuknya atau untuk manusia lainnya. Hal ini menyalahi fithrahnya. Telah dijelaskan bahwa fithrah manusia mengakui Allah Swt. sebagai Rabb. Berati tugas Tuhanlah menciptakan makhluk, plus mengatur dengan aturan mainnya yang terinci dalam al-Quran dan as-Sunnah. Ketika manusia berpaling dari aturan-Nya dan memposisikan diri sebagai Tuhan yang membuat aturan, maka Allah Swt. tidak segan-segan mencelanya dengan celaan yang buruk. Allah Swt. menyebut hukum buatan manusia sebagai hukum thagut atau hukum syetan.

“ Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thagut, padahal merka telah diperintahkan untuk mengingkari thagut itu. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya” (QS. an-Nisa [4]: 60)

Barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” (QS. al-Maidah [5]: 44)

Allah Swt. pun mencela orang-orang yang membuat dan menggunakan aturan manusia dengan predikat dzalim (dalam QS. al-Maidah: 45) juga disebut fasik (terdapat dalam QS. al-Maidah ayat 47 dan 49)

Bagi manusia yang tidak kembali pada fithrahnya, tidak mengindahkan peringatan Allah Swt. dalam al-Quran dan as-Sunnah maka kehidupan yang sempitlah yang akan diterimanya.

“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit” (QS. Thaha [20]: 124)

v Memelihara Fithrah

Setelah disebutkan berbagai penyimpanagn fithrah, maka selanjutnya kita harus tahu berbagai antisipasi untuk menolak penyimpangan tersebut. Manusia akan rusak ketika meninggalkan fithrah. Oleh karena itu manusia harus kembali ke fithrahnya dan memeliharanya. Manusia akan selamat dengan beragama tauhid maka berpegang teguhlah, pegang erat hingga jasad bercerai berai. Manusia akan sejahtera dengan Islam maka sebuah keharusan mengkaji, mengamalkan dan mendakwahkan Islam.

Ada tiga komponen yang sangat berpengaruh dalam pemeliharaan fithrah

1. Individu. Individu yang bertaqwa yang senantiasa menjaga fithrahnya. Individu yang beraqidah kokoh dan senanitasa mengimplementasikan Aqidah Islam dalam kehidupannya sehari-hari.

2. Lingkungan dan masyarakat. Individu yang bertaqwa tadi yang senantiasa memelihara fithrahnya tidak lepas dari pengaruh masyarakat. Lingkungan masyarakat sangat berpengaruh dalam pembinaan individu tersebut. Bisa jadi ketika lingkungan masyarakat yang buruk tidak mampu menjaga individu yang bertaqwa. Bagaimana tidak, adakalanya individu yang bertaqwa sedang mengalami futur, masyarakat yang buruk bukan memberikan solusi malah memperburuk keadaan individu tadi. Oleh karena itulah, kontrol masyarakat sangat penting untuk melaksanakan pembinaan secara tidak langsung terhadap individu-individu yang menjadi bagian dari masyarakat tadi. Standar baik dan benar dalam masyarakat tidak disesuaikan dengan suara mayoritas tapi standar kebenaran yang sesuai fithrah yaitu suara Tuhan.

3. Aturan yang tegas dari pemerintah. Apalah artinya individu dan masyarakat yang berusaha menjaga fithrahnya ketika tidak ada aturan yang diterapkan oleh pemerintahan. Diibaratkan kita punya susu mahal diimpor langsung dari Australia, tapi wadah untuk menampung susu yang mahal tersebut bocor, bolong. Susu mahal tidak ada gunanya malah akan tumpah kemana-mana. Negara pun berperan penting menjaga fithrah rakyatnya dengan menerapkan aturan sesuai dengan fithrah rakyatnya, yaitu menerapkan Islam. Pemerintah yang sesuai dengan fithrah tidak akan menyengsarakan rakyat di dunia dan akhirat. Pemerintah yang selaras dengan fithrah tidak akan pernah berani menerapkan undang-undang thagut.

Ketiga komponen di atas tidak bisa dipisahkan karena komponen yang satu dengan yang lainnya sangat berkaitan. Ketiga komponen tersebut akan menghasilkan peradaban yang sesuai dengan fithrah, yakni sesuai dengan ketentuan Allah Swt. Sudah selayaknya kita kembali ke fithrah, menerapkan Islam secara kaffah dalam stiap lini kehidupan. Islam sebagai agama fithrah yang mengitegrasikan individu bertaqwa, masyarakat Islami dan negara yang menerapkan syariat Islam yang agung. Wallahu ‘alam bi as-Shawab

Bandung, 10 November 2007

Catatan Kaki

1. As-Suyuti, ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir al-Ma’tsŭr, V/298-299, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut. 1990

2. Abu Bakr al-Jaziri, Aysar at-Tafsir li Kalam al-‘Alliy al-Kabir, V/76, Nahr al-Khair tt. 1993; Ibnu al-‘Athiyyah al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, IV/ 336, Dar al-Kuutb al-Imiyah, Beirut. 1993; Abu al-Qasim bin Juzyi al-Kalbi, at-Tashil li ‘Ulum at-Tanzil, III/167, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995; az-Zuhayli, at-Tafsir Munîr, XXII/81, Dar al-Fikr, Beirut

3. az-Zuhayli, at-Tafsil al-Munîr. XXI/81

4. Sulaiman al-‘Ajili, al-Futuhat al-Ilâhiyah, VI/102, Dar al-Fikr, Beirut, 2003

5. Mahmud Hijazi, at-Tafsir al-Wadhih, III/ 27; az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, III/463, an-Nasafi, Madarik at-Tanzil, II/308.

6. Jamal ad-Din al-Jauzi, Zad al-Masir, VI/151

7. al-Baghawi, al-Ma’âlim at-Tanzil, Iii/415, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993

8. Sulaiman al-Ajili, al-Futuhât al-Illâhiyyah, VI/102

9. asy-Syawkani, Fath al-Qadir, IV/279, Dar al-Kuutb al-Ilmiyyah, Beirut. 1994

10. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhim, III/533, Dar al-‘Alam al-Kutub, Riyadh. 1997

11. az-Zuhayli, at-Tafsir al-Munir,XX1/83

Tidak ada komentar: